MAKALAH
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
MASYARAKAT MADURA
DISUSUN OLEH :
1.
AMALIA QISTHI : 3051311055
2.
JOKO AGUS GUNAWAN : 3051311045
3.
MALIK ALFI SEPTIANDI : 3051311042
4.
M. RIFQI SATRIA : 3051311056
PRODI :
TEKNIK INFORMATIKA (B)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI
Jalan R. Syamsudin, No. 50 Telp.
(0266) 218342
Website : www.ummi.ac.id email
: info@ummi.ac.id
2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb.
Terdapat banyak suku bangsa di negara
Indonesia ini dan salah satunya adalah suku madura atau dapat kita sebut saja
dengan masyarakat madura.
Makalah ini berjudul “Masyarakat Madura” Dapat di lihat dari judulnya maka
kami di sini akan membahas mengenai masyarakat madura terutama yang berhubungan
dengan kehidupan dan kebudayaan masyarakat madura.
Semoga pembaca dapat lebih mengenal
masyarakat madura setelah membaca makalah ini.
Wassalamualaikum.Wr.Wb.
Sukabumi, 02 Juni 2014
©
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
4
1.2.
Rumusan Maslah
4
1.3.
Tujuan Penulisan
5
1.4.
Prosedur Pemecahan
Masalah
5
1.5.
Sistematika Penulisan
makalah
5
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Kehidupan Masyarakat Madura
6
2.2.
Kebudayaan Masyarakat Madura
11
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Kesimpulan
17
3.2.
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat
Madura merupakan salah satu suku bangsa dengan populasi besar di Indonesia, kehidupan
masyarakat Madura dapat dijumpai di pulau Madura dan pulau sekitarnya. Tak
jarang banyak juga masyarakat Madura yang berani meninggalkan pulaunya atau
dapat disebut juga merantau ke pulau lain maka tak jarang kita dapat menjumpai
masyarakat Madura selain di pulau Madura.
Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan
kebudayaan. Kekayaan budaya yang terdapat di Madura cenderung bernafaskan
religius, terutama bernuansa Islami.
Keanekaragaman dan berbagai bentuk seni budaya tradisional
yang ada di Madura menunjukkan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh Bangsa
Indonesia. Kekayaan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang
berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dilestarikan dan diperkenalkan
kepada generasi muda sebagai penerus warisan bangsa.
1.2. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas dapat kita sajikan beberapa rumusan masalahnya yaitu:
1.
Bagaimanakah
kehidupan masyarakat Madura?
2.
Apa
saja kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Madura?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu agar kita dapat mengenal kehidupan
dan kebudayaan masyaakat Madura.
1.4. Prosedur Pemecahan Masalah
Prosedur pemecahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Penulis mencari materi dari berbagai sumber.
2.
Penulis memilih dan mengkaji materi yang layak untuk
disampaikan dalam makalah ini.
3.
Penulis menarik kesimpulan dari materi yang ada.
1.5. Sistematika
Penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut:
1.
Bab I Pendahuluan: Merupakan bagian awal dari makalah yang
berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
pemecahan masalah, dan sistematika penulisan.
2.
Bab II Pembahasan: Merupakan bagian isi yaitu tentang
pembahasan materi mengenai kehidupan masyarakat Madura dan kebudayaan
masyarakat Madura.
3.
Bab III Kesimpulan: Merupakan bagian akhir dari makalah
yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kehidupan Masyarakat Madura
Menarik
apabila kita membahas tentang kehidupan masyarakat Indonesia, seperti halnya
membahas tentang kehidupan masyarakat Madura yang juga bagian dari masyarakat
Indonesia itu sendiri. Ada dua kategori dalam kehidupan masyarakat Madura yaitu:
a.
Kehidupan merantau
Motivasi
orang Madura merantau tidak jauh dari dua faktor utama yaitu ekonomi dan
sosial. Artinya, tujuan orang Madura merantau untuk meningkatkan taraf hidup agar
status sosial mereka meningkat. Sebagai perantau, mau tidak mau mereka dituntut
untuk membangun suatu interaksi sosial dengan penduduk lokal. Mereka membangun
interaksi sosial sesuai dengan unsur-unsur primordial Madura. Sebab, dalam
realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama
dalam membentuk suatu identitas etnik. Unsur-unsur ini meliputi antara lain
genealogi dan kekerabatan (kinship), sistem kepercayaan (religi dan agama), bahasa
atau dialek serta kebiasaan-kebiasaan sosial lainnya (Geertz: 1981; Glaser dan
Moynihan: 1981)[1].
Dalam kehidupan sosial perantau Madura
unsur-unsur primordial ini akan menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri
yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka di perantauan. Tegasnya,
unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh etnik Madura selain akan menjadi
unsur pembeda identitas diri, juga menjadi referensi ketika mereka harus
membangun interaksi sosial dengan kelompok etnik lokal. Dalam sistem interaksi
sosial, perilaku budaya perantau Madura akan mengalami “perbentu ran" atau "persinggungan" dengan unsur-unsur primordial
penduduk lokal sebagai penanda ciri atau karakter mereka. Perantau Madura dalam
membangun interaksi sosial dengan penduduk lokal (setempat) akan menghadapi
paling tidak tiga alternatif kemungkinan strategi kultural yaitu:
1.
Puritan
dalam arti tetap mempertahankan identitas etnik,
2.
Adaptif
yaitu tetap mempertahankan identitas etnik, namun pada saat yang bersamaan
mulai "Masuk" dalam identitas etnik lokal (setempat),
3.
Eskapistik
atau melucuti identitas etnik.
Dilihat
dari faktor agama, hampir dapat dipastikan semua perantau Madura memilih
alternatif strategi puritan, tetap mempertahankan agamanya (Islam) selama hidup
di perantauan. Dalam perspektif antropologis, bagi orang Madura agama Islam
bukan saja sebagai referensi dalam berpikir, bersikap, bertindak, dan
berprilaku yang bersumber dari nilai-nilai Ilahiyah, melainkan sudah sangat
melekat sebagai salah satu elemen terpenting dari identitas etnik. Relasi
antara agama Islam dan identitas etnik orang Madura sangat kuat sehingga
merupakan suatu ketidak laziman, bahkan kejanggalan, jika orang Madura menganut
agama selain Islam biasanya mereka akan dianggap "Bukan Orang Madura"
lagi. Dalam konteks ini mudah dipahami ketika orang Madura membangun interaksi
sosial di perantauan, terutama menyangkut masalah pernikahan (antaretnik),
sangat mempertimbangkan faktor agama daripada faktor lain. Artinya, para
perantau Madura hampir tidak mungkin menikah dengan penganut agama selain
Islam. Namun demikian, di luar masalah pernikahan antaretnik, orang Madura
dapat membangun interaksi dengan penduduk lokal secara baik. Misalnya, dalam
aktifitas perdagangan mereka dapat melakukan transaksi bahkan membangun mitra
tanpa merasa terhalang oleh perbedaan keyakinan agama yang dianut. Sebagai
penganut agama Islam yang taat tidak membuat perantau Madura menjadi
eksklusif.
Bahkan kehadiran orang Madura justru
lebih mewarnai nuansa keislaman penduduk lokal. Hal ini terlihat dengan jelas
di kawasan "Tapal Kuda" hampir semua pemuka-pemuka agama Islam
berasal dari etnik Madura (Bandingkan, Ahmadi: 2003)[2]. Dalam kebudayaan masyarakat Madura, ikatan kekerabatan mencakup sampai
empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending
generations) dari ego, sehingga ikatan persaudaraan antar kerabat menunjukkan
keeratan (intimacy) sangat kuat. Selain itu, dikenal tiga kategori sebagai
oreng lowar (orang luar) atau banne taretan (bukan saudara) sanak keluarga atau
kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan
semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau
peripheral kin). Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai
oreng lowar tetapi hubungan persaudaraan bisa jadi lebih akrab daripada kerabat
inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy. Meskipun
demikian, hubungan atau interaksi sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun
oleh para perantau Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat, tanpa
memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan atau interaksi sosial
itu didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi kepentingan di bidang ekonomi
dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat
akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat
(taretan) atau dalam ungkapan Madura disebut oreng daddi taretan (orang luar
dianggap dan diperlakukan sebagai kerabat). Dalam prespektif antropologis,
orang Madura mampu membentuk ikatan “Kekerabatan Semu” (pseudo kinship). Dengan
demikian, kuatnya ikatan kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak
terkecuali di perantauan tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari
sikap eksklusif. Sebaliknya, unsur kekerabatan orang Madura merupakan salah
satu modal budaya yang mengandung makna inklusifitas,sehingga memberi ruang untuk membangun dan
mengembangkan interaksi sekaligus integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.
Dalam konteks ini, para perantau Madura
memilih alternatif strategi adaptif. Namun ada kalanya, mereka yang sudah
melakukan pernikahan antar etnik terperangkap pada alternatif startegi yang
eskapistik.
Alternatif
adaptif biasanya juga dilakukan oleh orang Madura di perantauan dalam hal
penggunaan bahasa. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti di tempat-tempat
publik, bahasa lokal biasanya sudah merupakan bahasa komunikasi dan interaksi
sosial perantau Madura dengan penduduk setempat. Sebagai sarana interaksi
sosial, penguasaan bahasa lokal ternyata tidak hanya untuk mengekspresikan
diri, tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya
ekonomi lokal. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan para
perantau Madura dalam menguasai bidang-bidang ekonomi informal adalah karena
kemampuannya menguasai bahasa lokal dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan
interaksi sosial seperti di atas. Namun demikian, mereka tetap menggunakan
bahasa Madura terutama di kalangan internal keluarga atau dengan sesama etnik
Madura.
Ironisnya,
bagi sebagaian orang Madura alternatif eskapistik yang menjadi pilihan strategi
interaksi sosial di perantauan. Pengusaan bahasa lokal justru dijadikan tameng
untuk menyembunyikan identitas Madura mereka. Lebih menyedihkan lagi, kadangkala
bagi kelompok ini penggunaan bahasa lokal khususnya bahasa Jawa justru
merupakan suatu kebanggaan. Mereka nampak merasa lebih bangga jika terkesan
dirinya sebagai "Orang Jawa" daripada harus diketahui sebagai orang
dari etnik Madura. Dalam kasus ini, alternatif strategi yang mereka pilih
adalah eskpistik. Secara kultural, pilihan alternatif strategi ini tanpa
disadari oleh mereka sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan
Madura ke depannya.
Bila
semua perantau Madura memilih cara eskpistik maka bukan suatu kemustahilan jika
suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura lambat laun akan pudar oleh karena
sikap dan perilaku orang Madura sendiri. Lebih-lebih jika orang Madura yang
berada di pulau Madura sendiri juga "Terperangkap" oleh sikap dan
perilaku yang seperti itu.
b.
Kehidupan menetap
Selain hidup
merantau masyarakat Madura juga hidup menetap di daerahnya, tujuan mereka
menetap adalah untuk mempertahankan budaya yang ada atau mungkin di daerahnya
mereka sudah mempunyai status sosial yang tinggi, sehingga mereka tidak mau
bersusah-susah merantau ke luar daerah. Di daerahnya mereka biasanya melakukan
ternak sapi, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pesisir bekerja sebagai
nelayan dan menjadi pembuat garam tradisional, selain itu ada pula yang membuat
usaha di rumah seperti usaha batik tulis Madura, kerajinan celurit dan keris. Masyarakat atau keluarga Madura biasanya
hidup dalam kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok biasanya terdiri dari 4
sampai 8 rumah yang membentuk pola yang khas (semacam marga). Rumah-rumah itu
berderet memanjang mulai dari keluarga yang paling tua di sebelah barat hingga
keluarga yang paling muda di sebelah timur, semuanya menghadap ke selatan. Di
depan deretan rumah rumah itu terdapat halaman yang memanjang dan di
seberangnya terdapat deretan dapur yang letaknya di depan setiap rumah.
Walaupun pemukiman itu terdiri dari 4 sampai 8 rumah namun hanya terdapat satu
sumur dan satu mushola. Pola pemukiman ini di Madura dinamakan “Taneyan
lanjang” Dalam bahasa Madura, taneyan berarti halaman dan lanjang berarti
panjang. Pola taneyan lanjang ini erat kaitannya dengan
budaya pernikahan di Madura yang bersifat uxorilocal, dimana pasangan yang baru
menikah harus tinggal di rumah istrinya. Dengan demikian seolah-olah menjadi
kewajiban yang tak tertulis bagi setiap orang tua Madura untuk menyediakan tempat
tinggal bagi keluarga anak perempuannya.
Walaupun tinggal bersama orang tua dan saudara-saudara
perempuannya, keluarga Madura masih dapat dipastikan mandiri secara ekonomi.
Ini dapat dilihat dari adanya dapur di depan rumah masing-masing keluarga. Rumah-rumah
tersebut berderet dari barat ke timur dan semuanya menghadap ke selatan, semua
ini tidak lain merupakan cermin religiusitas orang Madura. Rumah yang berderet
dari barat ke timur dimaksudkan, kiblat itu selalu berada disebelah barat dan
yang tertua diharapkan bisa menjadi imam, contoh bagi adik-adiknya, sedangkan
menghadap selatan juga mempunyai makna ketika seorang Madura meninggal, di dalam
kubur kepalanya diletakkan di sebelah utara menghadap menghadap selatan
sedangkan wajahnya dimiringkan kebarat.
2.2. Kebudayaan Masyarakat Madura
Selain
mengnai kehidupan menarik juga apabila membahas tentang kebudayaan masyarakat
Madura, mereka memiliki banyak kebudayaan yaitu dalam bidang kerajinan, pakaian
adat, rumah adat, dan kesenian. Di bidang kerajinan Madura memiliki beberapa
kerajinan seperti keris, batik, celurit, kleles, dan tuk-tuk. Batik Madura
adalah sebuah kerajinan tangan yang berasal dari Pulau Madura, yang pusat
pembuatan batik tersebut berada di daerah Bangkalan yang merupakan ujung Barat
Madura, sampai di pasar Sumenep. Batik Madura seakan identik dengan satu tempat
istimewa, yaitu Tanjung Bumi, yang berada di Bangkalan Utara, di luar jalur
utama lintas Madura yaitu berada di sisi selatan pulau Madura. Keris juga
merupakan sebuah kerajinan tradisional dari Madura meskipun tidak begitu
diketahui sejak kapan keris sudah menjadi senjata tradisional masyarakat
Madura. Tempat kerajinan keris sekarang berada di Kabupaten Sumenep di desa
Aeng Tongtong, kecamatan Saronggi. Keris sekarang dan keris pada masa lalu
berbeda, bila keris sekarang digunakan hanya untuk meningkatkan atau menaikkan
pamor seseorang dan keris pada masa lalu digunakan sebagai alat berperang. Celurit
juga termasuk alat tradisional milik masyrakat Madura, terutama para rakyat
kecil memperlakukan celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari.
Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di
pulau Madura. Celurit dibuat di desa Peterongan, kecamatan Galis, kabupaten
Bangkalan. Disana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai
pandai besi pembuat arit dan celurit dan keahlian mereka adalah warisan sejak
ratusan tahun lampau. Kleles adalah alat yang dipakai untuk pasangan sapi
yang dikerap agar keduanya dapat lari seirama, sedangkan pada bagian buritan
adalah tempat duduk joki, yang akan mengendalikan arah dan larinya sapi.
Tuk-tuk sebagai instrument pengiring pada saat kerap sedang dibawa keliling
maupun pada saat sedang berlangsung perlombaan karapan sapi.
Dalam
bidang pakaian adat, untuk pria sangat identik dengan motif garis horizontal
yang biasanya berwarna merah-putih dan memakai ikat kepala. Lebih terlihat
gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa celurit. Dan
untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan kain batik khas Madura dan mengenakan
kebaya untuk bagian atasnya.
Untuk
rumah adatnya sendiri, masyarakat Madura dalam membuat rumah kebanyakan hampir
mirip dengan rumah adat Jawa (Joglo), karena apabila dilihat dari sejarahnya
Jawa masih ada benang merah dengan Madura, di sini terlihat adanya pencampuran
kebudayaan antara budaya Jawa dengan budaya Madura.
Selain
dari kerajinan, pakaian adat dan rumah adat di atas, masyarakat Madura juga
memiliki kesenian tradisional yang dapat dikategorikan menjadi empat kategori dan
sudah tentu masing-masing kategori tersebut mempunyai fungsinya masing-masing,
Inilah kategori dari kesenian tradisonal tersebut:
Pertama,
seni musik atau seni suara yaitu tembang macapat, musik saronen dan musik
ghul-ghul. Tembang macapat adalah tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai
sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan) di surau-surau (Mesjid)
sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh seniuhan lembut dan
membawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi
ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk
bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat
kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang
ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna
hidup. Syair tembang macapat merupakan gambaran hubungan manusia dengan alam,
serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Beberapa
atraksi kesenian Madura pengiring instrumen musiknya adalah saronen. Musik ini
adalah musik yang sangat kompleks dan serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa
sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik saronen adalah perpaduan dari
beberapa alat musik, namun yang paling dominan adalah liuk-liukan alat tiup
berupa kerucut sebagai alat musik utama, alat musik tersebut bernama saronen.
Musik saronen berasal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep
yang berasal dari kata senninan (hari senin). Jenis seni musik atau seni suara
selanjutnya adalah musik ghul-ghul yaitu didominasi oleh gendang (ghul-ghul).
Namun dalam perkembangannya permainan musik ini memasukkan alat musik lainnya,
baik alat musik tiup maupun alat musik pukul. Ciri spesifik dari alat musik ini
adalah terletak pada model gendang yang menggelembung besar di bagian tengah.
Musik ghul-ghul ini diciptakan untuk mengiringi merpati ketika sedang terbang.
Iringan musik ini dipakai sebagai sarana hiburan bagi organisasi (perkumpulan)
“Dara Gettak”, ketika membentak kemudian merpati dilepas ke udara, musik ini
ditujukan untuk menyemarakkan suasana, musik ghul-ghul ini berasal dari desa
Lenteng Timur Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
Kedua,
seni tari atau gerak yaitu tari muang sangkal dan tari duplang. Gerakan tari
tradisional Madura tidak pernah terlepas dari kata-kata yang tertera dalam
Al-Quran seperti kata Allah atau Muhammad. Tari muang sangkal adalah seni
tradisi yang bertahan sampai sekarang, Tari tersebut telah mengalami berbagai
perubahan yaitu menjadi tarian wajib untuk menyambut tamu-tamu yang datang ke
Sumenep. Sedangkan Tari duplang merupakan tari yang spesifik, unik, dan langka.
Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupakan sebuah
penggambaran prosesi yang utuh dari kehidupan seorang wanita desa, wanita yang
bekerja keras sebagai petani yang selama ini terlupakan. Dijalin dan dirangkai
dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai.
Tarian ini diciptakan oleh seorang penari keraton bernama Nyi Raisa. Generasi
terakhir yang mampu menguasai tarian ini adalah Nyi Suratmi, dan tarian ini
jarang dipentaskan setelah adanya pergantian sistem pemerintahan, peralihan
dari sistem raja ke bupati. Sejak saat itu tarian ini jarang dipentaskan,
karena kesulitan gerakan dan keengganan untuk mempelajarinya maka dapat
dikatakan tarian ini sudah punah.
Ketiga,
upacara ritual yaitu Sandhur Pantel. Masyarakat petani atau masyarakat nelayan
tradisional Madura menggunakan upacara ritual sebagai sarana berhubungan dengan
mahluk gaib atau media komunikasi dengan Dzat tunggal, pencipta alam semesta. Setiap
melakukan upacara ritual media kesenian menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari seluruh proses kegiatan. Masyarakat Madura menyebutnya sandhur atau
dhamong ghardham, yaitu ritual yang ditarikan, dengan berbagai tujuan antara
lain, untuk memohon hujan, menjamin sumur penuh dengan air, untuk menghormati
makam keramat dan membuang bahaya penyakit atau mencegah musibah, adapun
bentuknya berupa tarian dan nyanyian yang diiringi musik. Daerah-daerah yang
mempunyai kesenian ini menyebar di wilayah Madura bagian timur. Batuputih
terdapat ritus rokat dangdang, rokat somor, rokat bhuju, rokat thekos jagung.
Di Pasongsongan terdapat sandhur lorho’. Di Guluk-guluk terdapat sandhuran
duruding, yang dilaksanakan ketika panen jagung dan tembakau, berupa nyanyian
laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus tanpa iringan musik. Musik
langsung dimainkan oleh peserta dengan cara menirukan bunyi dari berbagai alat
music, namun ritual ini sebenarnya bertentangan dengan agama Islam dan tidak
pula diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, jadi ini merupakan suatu
bid’ah dan haram hukumnya jika dilaksanakan.
Keempat,
seni pertunjukan berupa karapan sapi dan topeng dalang. Karapan sapi atau perlombaan
memacu sapi pertama kali diperkenalkan pada abad ke 15 (1561 M) pada masa
pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep. Permainan dan perlombaan ini
tidak jauh dari kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani, dalam arti
permainan ini memberikan motivasi kepada kewajiban petani terhadap sawah
ladangnya dan disamping itu agar petani meningkatkan produksi ternak sapinya. Seni
pertunjukan selanjutnya adalah topeng dalang, konon topeng dikatakan sebagai
kesenian yang paling tua. Adapun bentuk topeng yang di kembangkan di Madura
berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda, dan Bali. Topeng Madura pada
umumnya lebih kecil bentuknya dan hampir semua topeng diukir pada bagian atas
kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling populer adalah hiasan
bunga melati. Adapun penggambaran karakter pada topeng dalang selain tampak
pada bentuk muka juga dalam pemilihan wama, untuk tokoh yang berjiwa bersih
digunakan wama putih, wama merah untuk tokoh tenang dan penuh kasih sayang,
warna hitam untuk tokoh yang arif dan bijaksana bersih dari nafsu duniawi,
kuning emas untuk tokoh yang anggun dan berwibawa, warna kuning untuk tokoh yang
pemarah, licik, dan sombong. Setiap pementasan topeng dalang seluruh pemainnya
didominasi laki-laki, penari sebanyak kira-kira 15-25 orang dalam lakon yang
dipentaskan semalam suntuk, adapun aksesorisnya adalah taropong, sapiturung,
ghungseng, kalong, rambut, dan badung. Sedangkan untuk pemeran wanita aksesoris
tambahannya adalah berupa sampur, kalung ular, gelang, dan jamang. Teater
topeng dalang Madura adalah satu-satunya teater tradisional yang mampu
menaikkan pamor seni tradisi. Di era tahun 80-an sampai dengan tahun 90-an
topeng dalang Sumenep melanglang buana sampai ke benua Amerika, Asia, dan
Eropa, kota-kota besar yang disinggahi adalah London, Amsterdam, Belgia,
Perancis, Jepang, dan New York. Penampilan seni tradisional ini mampu memikat,
memukau, dan menghipnotis serta menimbulkan decak kagum para penonton, begitu
hangat sambutan masyarakat intemasional terhadap kesenian topeng dalang. Kesenian
ini mulai berkurang terutama di masyarakat perkotaan, karena dianggap
ketinggalan zaman, saat ini pementasannya hanya dilakukan di daerah pinggiran
yang masih peduli dan mencintai kesenian ini.
Terlihat
dari banyaknya budaya dari mulai kerajinan, pakaian, rumah, dan kesenian yang
dimiliki oleh mayarakat Madura banyak diantaranya yang mulai hilang terutama
dalam bidang kesenian, tetapi selain hilang ada juga yang disalah gunakan yaitu
untuk mencari keuntungan suatu pihak tanpa memikirkan akibat dari hal tersebut
yang paling terlihat adalah karapan sapi yang digunakan untuk ajang bertaruh
tentunya itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip orang Madura yang bernuansakan
Islam. Maka dengan demikian, pihak Pemerintah Daerah harus menindak lanjuti hal
tersebut agar tradisi karapan sapi kembali menjadi tradisi orang Madura yang
sesungguhnya, peran masyarakat dan generasi muda diperlukan agar budaya yang
ada tidak hilang dan akan terus menjadi kebanggaan bangsa. Namun budaya itu
juga harus sesuai dan tidak lepas dari aturan agama Islam, sehingga tidak
termasuk budaya yang tidak diperbolehkan dan haram menurut agama.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Kehidupan
masyarakat Madura tidak lepas dari merantau terutama bagi mereka yang ingin meningkatkan
status sosialnya, dengan cara berinteraksi mereka dapat dengan mudah berkawan
masyarakat daerah mereka merantau tentunya mereka menerapkan tiga cara yaitu,
puritan, adaptif, dan eskapistik. Puritan artinya mempertahankan jati dirinya
sebagai orang Madura, adptif artinya menyesuaikan diri dengan daerah rantauan
tetapi masih mempertahankan identitasnya sebagai orang Madura, dan eskapistik
yaitu mninggalkan jati dirinya sebagai orang Madura. Selain merantau biasanya
mereka yang sudah mapan akan lebih memilih tinggal di daerahnya atau juga
mereka tidak mau merantau karena sesuatu alasan. Mereka yang menetap biasanya
berkehidupan sebagai peternak kerbau, nelayan, pembuat garam tadisional dan
pembuat kerajinan. Dalam kehidupan keluarga Madura tak lepas dari nuansa Islam
terlihat dari rumah dan pedomannya. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Madura
memiliki kebudayaan yang menakjubkan, yaitu di bidang kerajinan, pakaian adat,
rumah adat, dan kesenian tradisonal. Terutama banyak kesenian yang bernuansakan
Islam akan tetapi ada juga kesenian yang bertentangan dengan Islam.
3.2. Saran
Sudah
sepantasnya sebagai penerus bangsa Indonesia kita wajib melestarikan kebudayaan
masyarakat Indonesia agar kebudayaan-kebudayaan peninggalan nenek moyang kita
tidak akan hilang karena keacuhan kita terhadap budaya disekitar.
DAFTAR PUSTAKA
“Google”.
Web. Mei 2014. <http://google.com>
“Wikipedia”. Web. Mei 2014. <http://wikipedia.co.id>
Wiyata, Latief.
“Interaksi Sosial Orang Madura di Rantau”.
(http://wiyatablog.blogspot.com diakses 28 Mei 2014)
Soejono, Anton. “Kehidupan Sosial Budaya Orang
Madura”.
(http://sejukk.blogspot.com
diakses 28 Mei 2014).
Chepoet. “Kebudayaan Masyarakat Madura dengan Ciri
Khas yang dimilikinya”.
(http://chepoetbeudt08.wordpress.com
diakses 29 Mei 2014)
Perdana, Farid.
“Kebudayaan Madura”
(http://fariddikiperdana.blogspot.com diakses 30 Mei 2014)
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^