MAKALAH
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
MASYARAKAT MADURA




DISUSUN OLEH :

1.      AMALIA QISTHI                   : 3051311055
2.      JOKO AGUS GUNAWAN    : 3051311045
3.      MALIK ALFI SEPTIANDI    : 3051311042
4.      M. RIFQI SATRIA                 : 3051311056




PRODI :
TEKNIK INFORMATIKA (B)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI
Jalan R. Syamsudin, No. 50 Telp. (0266) 218342
Website : www.ummi.ac.id email : info@ummi.ac.id
2014
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.Wr.Wb.

Terdapat banyak suku bangsa di negara Indonesia ini dan salah satunya adalah suku madura atau dapat kita sebut saja dengan masyarakat madura.
Makalah ini berjudul “Masyarakat MaduraDapat di lihat dari judulnya maka kami di sini akan membahas mengenai masyarakat madura terutama yang berhubungan dengan kehidupan dan kebudayaan masyarakat madura.
Semoga pembaca dapat lebih mengenal masyarakat madura setelah membaca makalah ini.

Wassalamualaikum.Wr.Wb.







Sukabumi, 02 Juni 2014


                                                                                                                © Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.          Latar Belakang 4
1.2.          Rumusan Maslah 4
1.3.         Tujuan Penulisan 5
1.4.         Prosedur Pemecahan Masalah 5
1.5.         Sistematika Penulisan makalah 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1.         Kehidupan Masyarakat Madura 6
2.2.         Kebudayaan Masyarakat Madura 11
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.          Kesimpulan 17
3.2.         Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Masyarakat Madura merupakan salah satu suku bangsa dengan populasi besar di Indonesia, kehidupan masyarakat Madura dapat dijumpai di pulau Madura dan pulau sekitarnya. Tak jarang banyak juga masyarakat Madura yang berani meninggalkan pulaunya atau dapat disebut juga merantau ke pulau lain maka tak jarang kita dapat menjumpai masyarakat Madura selain di pulau Madura.
Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan kebudayaan. Kekayaan budaya yang terdapat di Madura cenderung bernafaskan religius, terutama bernuansa Islami.
Keanekaragaman dan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang ada di Madura menunjukkan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Kekayaan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda sebagai penerus warisan bangsa.

1.2.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat kita sajikan beberapa rumusan masalahnya yaitu:
1.      Bagaimanakah kehidupan masyarakat Madura?
2.      Apa saja kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Madura?


1.3.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu agar kita dapat mengenal kehidupan dan kebudayaan masyaakat Madura.

1.4.  Prosedur Pemecahan Masalah
Prosedur pemecahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Penulis mencari materi dari berbagai sumber.
2.      Penulis memilih dan mengkaji materi yang layak untuk disampaikan dalam makalah ini.
3.      Penulis menarik kesimpulan dari materi yang ada.

1.5.  Sistematika Penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut:
1.      Bab I Pendahuluan: Merupakan bagian awal dari makalah yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan.
2.      Bab II Pembahasan: Merupakan bagian isi yaitu tentang pembahasan materi mengenai kehidupan masyarakat Madura dan kebudayaan masyarakat Madura.
3.      Bab III Kesimpulan: Merupakan bagian akhir dari makalah yang berisi tentang kesimpulan dan saran.


                     

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Kehidupan Masyarakat Madura
Menarik apabila kita membahas tentang kehidupan masyarakat Indonesia, seperti halnya membahas tentang kehidupan masyarakat Madura yang juga bagian dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Ada dua kategori dalam kehidupan masyarakat Madura yaitu:
a.       Kehidupan merantau
Motivasi orang Madura merantau tidak jauh dari dua faktor utama yaitu ekonomi dan sosial. Artinya, tujuan orang Madura merantau untuk meningkatkan taraf hidup agar status sosial mereka meningkat. Sebagai perantau, mau tidak mau mereka dituntut untuk membangun suatu interaksi sosial dengan penduduk lokal. Mereka membangun interaksi sosial sesuai dengan unsur-unsur primordial Madura. Sebab, dalam realitas kehidupan sehari-hari, unsur-unsur primordial menjadi pengikat utama dalam membentuk suatu identitas etnik. Unsur-unsur ini meliputi antara lain genealogi dan kekerabatan (kinship), sistem kepercayaan (religi dan agama), bahasa atau dialek serta kebiasaan-kebiasaan sosial lainnya (Geertz: 1981; Glaser dan Moynihan: 1981)[1].
Dalam kehidupan sosial perantau Madura unsur-unsur primordial ini akan menjadi penanda ciri atau karakter tersendiri yang terwujud dalam sikap dan perilaku budaya mereka di perantauan. Tegasnya, unsur-unsur primordial yang dimiliki oleh etnik Madura selain akan menjadi unsur pembeda identitas diri, juga menjadi referensi ketika mereka harus membangun interaksi sosial dengan kelompok etnik lokal. Dalam sistem interaksi sosial, perilaku budaya perantau Madura akan mengalami “perbentu ran" atau "persinggungan" dengan unsur-unsur primordial penduduk lokal sebagai penanda ciri atau karakter mereka. Perantau Madura dalam membangun interaksi sosial dengan penduduk lokal (setempat) akan menghadapi paling tidak tiga alternatif kemungkinan strategi kultural yaitu:
1.      Puritan dalam arti tetap mempertahankan identitas etnik,
2.      Adaptif yaitu tetap mempertahankan identitas etnik, namun pada saat yang bersamaan mulai "Masuk" dalam identitas etnik lokal (setempat),
3.      Eskapistik atau melucuti identitas etnik.

Dilihat dari faktor agama, hampir dapat dipastikan semua perantau Madura memilih alternatif strategi puritan, tetap mempertahankan agamanya (Islam) selama hidup di perantauan. Dalam perspektif antropologis, bagi orang Madura agama Islam bukan saja sebagai referensi dalam berpikir, bersikap, bertindak, dan berprilaku yang bersumber dari nilai-nilai Ilahiyah, melainkan sudah sangat melekat sebagai salah satu elemen terpenting dari identitas etnik. Relasi antara agama Islam dan identitas etnik orang Madura sangat kuat sehingga merupakan suatu ketidak laziman, bahkan kejanggalan, jika orang Madura menganut agama selain Islam biasanya mereka akan dianggap "Bukan Orang Madura" lagi. Dalam konteks ini mudah dipahami ketika orang Madura membangun interaksi sosial di perantauan, terutama menyangkut masalah pernikahan (antaretnik), sangat mempertimbangkan faktor agama daripada faktor lain. Artinya, para perantau Madura hampir tidak mungkin menikah dengan penganut agama selain Islam. Namun demikian, di luar masalah pernikahan antaretnik, orang Madura dapat membangun interaksi dengan penduduk lokal secara baik. Misalnya, dalam aktifitas perdagangan mereka dapat melakukan transaksi bahkan membangun mitra tanpa merasa terhalang oleh perbedaan keyakinan agama yang dianut. Sebagai penganut agama Islam yang taat tidak membuat perantau Madura menjadi eksklusif.

Bahkan kehadiran orang Madura justru lebih mewarnai nuansa keislaman penduduk lokal. Hal ini terlihat dengan jelas di kawasan "Tapal Kuda" hampir semua pemuka-pemuka agama Islam berasal dari etnik Madura (Bandingkan, Ahmadi: 2003)[2]. Dalam kebudayaan masyarakat Madura, ikatan kekerabatan mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego, sehingga ikatan persaudaraan antar kerabat menunjukkan keeratan (intimacy) sangat kuat. Selain itu, dikenal tiga kategori sebagai oreng lowar (orang luar) atau banne taretan (bukan saudara) sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi hubungan persaudaraan bisa jadi lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogamy. Meskipun demikian, hubungan atau interaksi sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh para perantau Madura dengan orang-orang di luar lingkungan kerabat, tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik. Biasanya hubungan atau interaksi sosial itu didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi kepentingan di bidang ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan) atau dalam ungkapan Madura disebut oreng daddi taretan (orang luar dianggap dan diperlakukan sebagai kerabat). Dalam prespektif antropologis, orang Madura mampu membentuk ikatan “Kekerabatan Semu” (pseudo kinship). Dengan demikian, kuatnya ikatan kekerabatan dalam kehidupan orang Madura tidak terkecuali di perantauan tidak selalu dapat dimaknai sebagai cerminan dari sikap eksklusif. Sebaliknya, unsur kekerabatan orang Madura merupakan salah satu modal budaya yang  mengandung makna inklusifitas,sehingga memberi ruang untuk membangun dan mengembangkan interaksi sekaligus integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.

Dalam konteks ini, para perantau Madura memilih alternatif strategi adaptif. Namun ada kalanya, mereka yang sudah melakukan pernikahan antar etnik terperangkap pada alternatif startegi yang eskapistik.
Alternatif adaptif biasanya juga dilakukan oleh orang Madura di perantauan dalam hal penggunaan bahasa. Dalam pergaulan sehari-hari, seperti di tempat-tempat publik, bahasa lokal biasanya sudah merupakan bahasa komunikasi dan interaksi sosial perantau Madura dengan penduduk setempat. Sebagai sarana interaksi sosial, penguasaan bahasa lokal ternyata tidak hanya untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi sarana untuk mempermudah akses terhadap sumber daya ekonomi lokal. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan para perantau Madura dalam menguasai bidang-bidang ekonomi informal adalah karena kemampuannya menguasai bahasa lokal dengan baik sesuai dengan tujuan-tujuan interaksi sosial seperti di atas. Namun demikian, mereka tetap menggunakan bahasa Madura terutama di kalangan internal keluarga atau dengan sesama etnik Madura.
Ironisnya, bagi sebagaian orang Madura alternatif eskapistik yang menjadi pilihan strategi interaksi sosial di perantauan. Pengusaan bahasa lokal justru dijadikan tameng untuk menyembunyikan identitas Madura mereka. Lebih menyedihkan lagi, kadangkala bagi kelompok ini penggunaan bahasa lokal khususnya bahasa Jawa justru merupakan suatu kebanggaan. Mereka nampak merasa lebih bangga jika terkesan dirinya sebagai "Orang Jawa" daripada harus diketahui sebagai orang dari etnik Madura. Dalam kasus ini, alternatif strategi yang mereka pilih adalah eskpistik. Secara kultural, pilihan alternatif strategi ini tanpa disadari oleh mereka sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura ke depannya.
Bila semua perantau Madura memilih cara eskpistik maka bukan suatu kemustahilan jika suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura lambat laun akan pudar oleh karena sikap dan perilaku orang Madura sendiri. Lebih-lebih jika orang Madura yang berada di pulau Madura sendiri juga "Terperangkap" oleh sikap dan perilaku yang seperti itu.
b.      Kehidupan menetap
Selain hidup merantau masyarakat Madura juga hidup menetap di daerahnya, tujuan mereka menetap adalah untuk mempertahankan budaya yang ada atau mungkin di daerahnya mereka sudah mempunyai status sosial yang tinggi, sehingga mereka tidak mau bersusah-susah merantau ke luar daerah. Di daerahnya mereka biasanya melakukan ternak sapi, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pesisir bekerja sebagai nelayan dan menjadi pembuat garam tradisional, selain itu ada pula yang membuat usaha di rumah seperti usaha batik tulis Madura, kerajinan celurit dan keris. Masyarakat atau keluarga Madura biasanya hidup dalam kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 8 rumah yang membentuk pola yang khas (semacam marga). Rumah-rumah itu berderet memanjang mulai dari keluarga yang paling tua di sebelah barat hingga keluarga yang paling muda di sebelah timur, semuanya menghadap ke selatan. Di depan deretan rumah rumah itu terdapat halaman yang memanjang dan di seberangnya terdapat deretan dapur yang letaknya di depan setiap rumah. Walaupun pemukiman itu terdiri dari 4 sampai 8 rumah namun hanya terdapat satu sumur dan satu mushola. Pola pemukiman ini di Madura dinamakan “Taneyan lanjang” Dalam bahasa Madura, taneyan berarti halaman dan lanjang berarti panjang. Pola taneyan lanjang ini erat kaitannya dengan budaya pernikahan di Madura yang bersifat uxorilocal, dimana pasangan yang baru menikah harus tinggal di rumah istrinya. Dengan demikian seolah-olah menjadi kewajiban yang tak tertulis bagi setiap orang tua Madura untuk menyediakan tempat tinggal bagi keluarga anak perempuannya.
Walaupun tinggal bersama orang tua dan saudara-saudara perempuannya, keluarga Madura masih dapat dipastikan mandiri secara ekonomi. Ini dapat dilihat dari adanya dapur di depan rumah masing-masing keluarga. Rumah-rumah tersebut berderet dari barat ke timur dan semuanya menghadap ke selatan, semua ini tidak lain merupakan cermin religiusitas orang Madura. Rumah yang berderet dari barat ke timur dimaksudkan, kiblat itu selalu berada disebelah barat dan yang tertua diharapkan bisa menjadi imam, contoh bagi adik-adiknya, sedangkan menghadap selatan juga mempunyai makna ketika seorang Madura meninggal, di dalam kubur kepalanya diletakkan di sebelah utara menghadap menghadap selatan sedangkan wajahnya dimiringkan kebarat.

2.2.  Kebudayaan Masyarakat Madura
Selain mengnai kehidupan menarik juga apabila membahas tentang kebudayaan masyarakat Madura, mereka memiliki banyak kebudayaan yaitu dalam bidang kerajinan, pakaian adat, rumah adat, dan kesenian. Di bidang kerajinan Madura memiliki beberapa kerajinan seperti keris, batik, celurit, kleles, dan tuk-tuk. Batik Madura adalah sebuah kerajinan tangan yang berasal dari Pulau Madura, yang pusat pembuatan batik tersebut berada di daerah Bangkalan yang merupakan ujung Barat Madura, sampai di pasar Sumenep. Batik Madura seakan identik dengan satu tempat istimewa, yaitu Tanjung Bumi, yang berada di Bangkalan Utara, di luar jalur utama lintas Madura yaitu berada di sisi selatan pulau Madura. Keris juga merupakan sebuah kerajinan tradisional dari Madura meskipun tidak begitu diketahui sejak kapan keris sudah menjadi senjata tradisional masyarakat Madura. Tempat kerajinan keris sekarang berada di Kabupaten Sumenep di desa Aeng Tongtong, kecamatan Saronggi. Keris sekarang dan keris pada masa lalu berbeda, bila keris sekarang digunakan hanya untuk meningkatkan atau menaikkan pamor seseorang dan keris pada masa lalu digunakan sebagai alat berperang. Celurit juga termasuk alat tradisional milik masyrakat Madura, terutama para rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di pulau Madura. Celurit dibuat di desa Peterongan, kecamatan Galis, kabupaten Bangkalan. Disana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit dan keahlian mereka adalah warisan sejak ratusan tahun lampau. Kleles adalah alat yang dipakai untuk pasangan sapi yang dikerap agar keduanya dapat lari seirama, sedangkan pada bagian buritan adalah tempat duduk joki, yang akan mengendalikan arah dan larinya sapi. Tuk-tuk sebagai instrument pengiring pada saat kerap sedang dibawa keliling maupun pada saat sedang berlangsung perlombaan karapan sapi.
Dalam bidang pakaian adat, untuk pria sangat identik dengan motif garis horizontal yang biasanya berwarna merah-putih dan memakai ikat kepala. Lebih terlihat gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa celurit. Dan untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan kain batik khas Madura dan mengenakan kebaya untuk bagian atasnya.
Untuk rumah adatnya sendiri, masyarakat Madura dalam membuat rumah kebanyakan hampir mirip dengan rumah adat Jawa (Joglo), karena apabila dilihat dari sejarahnya Jawa masih ada benang merah dengan Madura, di sini terlihat adanya pencampuran kebudayaan antara budaya Jawa dengan budaya Madura.
Selain dari kerajinan, pakaian adat dan rumah adat di atas, masyarakat Madura juga memiliki kesenian tradisional yang dapat dikategorikan menjadi empat kategori dan sudah tentu masing-masing kategori tersebut mempunyai fungsinya masing-masing, Inilah kategori dari kesenian tradisonal tersebut:
Pertama, seni musik atau seni suara yaitu tembang macapat, musik saronen dan musik ghul-ghul. Tembang macapat adalah tembang (nyanyian) yang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan) di surau-surau (Mesjid) sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh seniuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembang macapat merupakan gambaran hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Beberapa atraksi kesenian Madura pengiring instrumen musiknya adalah saronen. Musik ini adalah musik yang sangat kompleks dan serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik saronen adalah perpaduan dari beberapa alat musik, namun yang paling dominan adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebagai alat musik utama, alat musik tersebut bernama saronen. Musik saronen berasal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep yang berasal dari kata senninan (hari senin). Jenis seni musik atau seni suara selanjutnya adalah musik ghul-ghul yaitu didominasi oleh gendang (ghul-ghul). Namun dalam perkembangannya permainan musik ini memasukkan alat musik lainnya, baik alat musik tiup maupun alat musik pukul. Ciri spesifik dari alat musik ini adalah terletak pada model gendang yang menggelembung besar di bagian tengah. Musik ghul-ghul ini diciptakan untuk mengiringi merpati ketika sedang terbang. Iringan musik ini dipakai sebagai sarana hiburan bagi organisasi (perkumpulan) “Dara Gettak”, ketika membentak kemudian merpati dilepas ke udara, musik ini ditujukan untuk menyemarakkan suasana, musik ghul-ghul ini berasal dari desa Lenteng Timur Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep
Kedua, seni tari atau gerak yaitu tari muang sangkal dan tari duplang. Gerakan tari tradisional Madura tidak pernah terlepas dari kata-kata yang tertera dalam Al-Quran seperti kata Allah atau Muhammad. Tari muang sangkal adalah seni tradisi yang bertahan sampai sekarang, Tari tersebut telah mengalami berbagai perubahan yaitu menjadi tarian wajib untuk menyambut tamu-tamu yang datang ke Sumenep. Sedangkan Tari duplang merupakan tari yang spesifik, unik, dan langka. Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupakan sebuah penggambaran prosesi yang utuh dari kehidupan seorang wanita desa, wanita yang bekerja keras sebagai petani yang selama ini terlupakan. Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai. Tarian ini diciptakan oleh seorang penari keraton bernama Nyi Raisa. Generasi terakhir yang mampu menguasai tarian ini adalah Nyi Suratmi, dan tarian ini jarang dipentaskan setelah adanya pergantian sistem pemerintahan, peralihan dari sistem raja ke bupati. Sejak saat itu tarian ini jarang dipentaskan, karena kesulitan gerakan dan keengganan untuk mempelajarinya maka dapat dikatakan tarian ini sudah punah.
Ketiga, upacara ritual yaitu Sandhur Pantel. Masyarakat petani atau masyarakat nelayan tradisional Madura menggunakan upacara ritual sebagai sarana berhubungan dengan mahluk gaib atau media komunikasi dengan Dzat tunggal, pencipta alam semesta. Setiap melakukan upacara ritual media kesenian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh proses kegiatan. Masyarakat Madura menyebutnya sandhur atau dhamong ghardham, yaitu ritual yang ditarikan, dengan berbagai tujuan antara lain, untuk memohon hujan, menjamin sumur penuh dengan air, untuk menghormati makam keramat dan membuang bahaya penyakit atau mencegah musibah, adapun bentuknya berupa tarian dan nyanyian yang diiringi musik. Daerah-daerah yang mempunyai kesenian ini menyebar di wilayah Madura bagian timur. Batuputih terdapat ritus rokat dangdang, rokat somor, rokat bhuju, rokat thekos jagung. Di Pasongsongan terdapat sandhur lorho’. Di Guluk-guluk terdapat sandhuran duruding, yang dilaksanakan ketika panen jagung dan tembakau, berupa nyanyian laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus tanpa iringan musik. Musik langsung dimainkan oleh peserta dengan cara menirukan bunyi dari berbagai alat music, namun ritual ini sebenarnya bertentangan dengan agama Islam dan tidak pula diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, jadi ini merupakan suatu bid’ah dan haram hukumnya jika dilaksanakan.
Keempat, seni pertunjukan berupa karapan sapi dan topeng dalang. Karapan sapi atau perlombaan memacu sapi pertama kali diperkenalkan pada abad ke 15 (1561 M) pada masa pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep. Permainan dan perlombaan ini tidak jauh dari kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani, dalam arti permainan ini memberikan motivasi kepada kewajiban petani terhadap sawah ladangnya dan disamping itu agar petani meningkatkan produksi ternak sapinya. Seni pertunjukan selanjutnya adalah topeng dalang, konon topeng dikatakan sebagai kesenian yang paling tua. Adapun bentuk topeng yang di kembangkan di Madura berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda, dan Bali. Topeng Madura pada umumnya lebih kecil bentuknya dan hampir semua topeng diukir pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling populer adalah hiasan bunga melati. Adapun penggambaran karakter pada topeng dalang selain tampak pada bentuk muka juga dalam pemilihan wama, untuk tokoh yang berjiwa bersih digunakan wama putih, wama merah untuk tokoh tenang dan penuh kasih sayang, warna hitam untuk tokoh yang arif dan bijaksana bersih dari nafsu duniawi, kuning emas untuk tokoh yang anggun dan berwibawa, warna kuning untuk tokoh yang pemarah, licik, dan sombong. Setiap pementasan topeng dalang seluruh pemainnya didominasi laki-laki, penari sebanyak kira-kira 15-25 orang dalam lakon yang dipentaskan semalam suntuk, adapun aksesorisnya adalah taropong, sapiturung, ghungseng, kalong, rambut, dan badung. Sedangkan untuk pemeran wanita aksesoris tambahannya adalah berupa sampur, kalung ular, gelang, dan jamang. Teater topeng dalang Madura adalah satu-satunya teater tradisional yang mampu menaikkan pamor seni tradisi. Di era tahun 80-an sampai dengan tahun 90-an topeng dalang Sumenep melanglang buana sampai ke benua Amerika, Asia, dan Eropa, kota-kota besar yang disinggahi adalah London, Amsterdam, Belgia, Perancis, Jepang, dan New York. Penampilan seni tradisional ini mampu memikat, memukau, dan menghipnotis serta menimbulkan decak kagum para penonton, begitu hangat sambutan masyarakat intemasional terhadap kesenian topeng dalang. Kesenian ini mulai berkurang terutama di masyarakat perkotaan, karena dianggap ketinggalan zaman, saat ini pementasannya hanya dilakukan di daerah pinggiran yang masih peduli dan mencintai kesenian ini.
Terlihat dari banyaknya budaya dari mulai kerajinan, pakaian, rumah, dan kesenian yang dimiliki oleh mayarakat Madura banyak diantaranya yang mulai hilang terutama dalam bidang kesenian, tetapi selain hilang ada juga yang disalah gunakan yaitu untuk mencari keuntungan suatu pihak tanpa memikirkan akibat dari hal tersebut yang paling terlihat adalah karapan sapi yang digunakan untuk ajang bertaruh tentunya itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip orang Madura yang bernuansakan Islam. Maka dengan demikian, pihak Pemerintah Daerah harus menindak lanjuti hal tersebut agar tradisi karapan sapi kembali menjadi tradisi orang Madura yang sesungguhnya, peran masyarakat dan generasi muda diperlukan agar budaya yang ada tidak hilang dan akan terus menjadi kebanggaan bangsa. Namun budaya itu juga harus sesuai dan tidak lepas dari aturan agama Islam, sehingga tidak termasuk budaya yang tidak diperbolehkan dan haram menurut agama.

BAB III
KESIMPULAN

3.1.  Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Madura tidak lepas dari merantau terutama bagi mereka yang ingin meningkatkan status sosialnya, dengan cara berinteraksi mereka dapat dengan mudah berkawan masyarakat daerah mereka merantau tentunya mereka menerapkan tiga cara yaitu, puritan, adaptif, dan eskapistik. Puritan artinya mempertahankan jati dirinya sebagai orang Madura, adptif artinya menyesuaikan diri dengan daerah rantauan tetapi masih mempertahankan identitasnya sebagai orang Madura, dan eskapistik yaitu mninggalkan jati dirinya sebagai orang Madura. Selain merantau biasanya mereka yang sudah mapan akan lebih memilih tinggal di daerahnya atau juga mereka tidak mau merantau karena sesuatu alasan. Mereka yang menetap biasanya berkehidupan sebagai peternak kerbau, nelayan, pembuat garam tadisional dan pembuat kerajinan. Dalam kehidupan keluarga Madura tak lepas dari nuansa Islam terlihat dari rumah dan pedomannya. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang menakjubkan, yaitu di bidang kerajinan, pakaian adat, rumah adat, dan kesenian tradisonal. Terutama banyak kesenian yang bernuansakan Islam akan tetapi ada juga kesenian yang bertentangan dengan Islam.

3.2.  Saran
Sudah sepantasnya sebagai penerus bangsa Indonesia kita wajib melestarikan kebudayaan masyarakat Indonesia agar kebudayaan-kebudayaan peninggalan nenek moyang kita tidak akan hilang karena keacuhan kita terhadap budaya disekitar.
DAFTAR PUSTAKA

“Google”. Web. Mei 2014. <http://google.com>
Wikipedia”. Web. Mei 2014. <http://wikipedia.co.id>
Wiyata, Latief. “Interaksi Sosial Orang Madura di Rantau”.
(http://wiyatablog.blogspot.com diakses 28 Mei 2014)
Soejono, Anton. “Kehidupan Sosial Budaya Orang Madura”.
(http://sejukk.blogspot.com diakses 28 Mei 2014).
Chepoet. “Kebudayaan Masyarakat Madura dengan Ciri Khas yang dimilikinya”.
Perdana, Farid. “Kebudayaan Madura”


no image
  • Judul :
  • Penulis :
  • Kategori :
  • Rating : 100% based on 10 ratings. 5 user reviews.
Item Reviewed: 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!